Search

Konsep Kepemimpinan dalam Rumahtangga

Tafsir QS.  An-Nisa: 34
“Konsep Kepemimpinan dalam Rumahtangga"
Oleh:Hamidah

A.  Tema Ayat
Ayat ini menjelaskan tentang konsep kepemimpinan dalam rumah tangga yakni berhubungan dengan pembagian tugas anggota keluarga (laki-laki sebagai pemimpin)[1].  Dan Wahbah Az-Zuhaili pun menyebutkan bahwa ayat ini berhubungan dengan konsep kepemimpinan laki-laki atas perempuan dan persamaan metode dalam penyelesaian masalah jika terjadi perselisihan diantara keduanya (suami dan istri).[2]

B. Redaksi Ayat
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untukmenyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”(QS.An-Nisa:34)

C.  Tafsir Mufradat
Kata ar-rijal  adalah bentuk jamak dari kata rajul yang mengandung arti lelaki. Walaupun Al-Quran tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Karena banyak ulama yang memahami kata ar-rijal  itu dalam ayat ini dengan arti para suami.[3]


Qawwamuna adalah bentuk jamak dari kata Qawwam yang terambil dari kata qaama. Kata ini satu sama lain berkaitan. Seperti halnya perintah shalat menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah untuk mendirikan shalat, Tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Seorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai Qaim. Kalau dia itu melaksanakan tugas dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang maka dimanakan Qawwam. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak yakni qawwamuna yang sejalan dengan makna ar-rajul  yang berarti banyak lelaki. Dan seringkali kata ini juga diartikan sebagai pemimpin.[4]


Al-Maraghi menjelaskan makna Qawwam disini merupakan bentuk keutamaan laki-laki daripada perempuan. Diantara keutamaan tersebut adalah: pertama, fitrawiyun yang menunjukan kepada kekuatan laki-laki dan kesempurnaan bentuk yang diikuti dengan kemampuan akal dalam berfikir laki-laki itu lebih kuat dibandingkan perempuan, sehingga mereka (laki-laki) dapat berfikir dengan sehat dalam memulai sutu urusan dan dapat menanganinya dengan tenang. Kedua,Kasabiyyun  yaitu kemampuan laki-laki dalam bekerja dan menangani urusan-urusan. Oleh karena itu laki-laki (suami) memiliki beban untuk memberi nafkah terhadap istri dan berfungsi sebagai kepala keluarga.[5]


Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa yang dimakasud ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa adalah laki-laki itu pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim dan pendidik bagi perempuan ketika mereka menyimpang.[6]


Bima fadhalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin adalah karena laki-laki itu lebih utama daripada perempuan, dan laki-laki lebih baik  daripada perempuan, maka kenabian  pun dikhususkan untuk laki-laki. Begitu pula raja (presiden), begitu pula dengan kehakiman dan lain-lain. Sebagaimana sabda rasulullah Saw:

لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة


”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin,  dalam urusan mereka.”[7]


Wabima anfaquu min amwaalihim  yaitu karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka, yang berupa mahar, nafkah dan berbagai tanggung jawab yang diwajibkan Allah kepada mereka dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Maka laki-laki lebih utama dari perempuan dalam hal jiwanya dan laki-laki memilki keutamaan dan kelebihan. Sehingga cocok menjadi penanggung jawab atas perempuan. Sebagaiman firman Allah Swt dalam QS.Al-Baqarah:228.[8]


Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu Abbas tentang firmannya ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa adalah pemimpin-pemimpin perempuan yang harus ditaati sesuai perintah Allah untuk mentaatinya. Dan ketaatan padanya adalah berbuat baik terhadap keluarganya, dan memelihara hartanya. Hal tersebut juga dikatakan oleh Muqathil,As-Sudiy dan Ad-Dhahak.[9]


Fashalihatu yaitu maka orang-orang yang shaleh yaitu perempuan yang shaleh.[10]
Qaanitaatun yaitu yang taat kepada Allah dan suaminya.[11]
Walhafizhaatulilghaibi yaitu perempuan yang menjaga suaminya di waktu tidak ada di sampingnya dengan menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya.[12]
Bima hafizallah yaitu orang yang terpelihara adalah orang yang dijaga oleh Allah.[13]    
Takhafuuna yaitu kamu mengira[14]
Albagha yaitu menganiaya dan boleh memberi sanksi.[15]
Wahjaru hunna fil madhaji’ yaitu Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu Abbas bahwa makna al-hajr tersebut adalah tolak menjima’ (menyetubuhi) dan tidak tidur dengan dia di  atas pembaringannya. Serta berupaya membelakanginya.[16]
Wadhribuhunna  yaitu jika nasihat dan pemisahan tempat tidur tidak menggetarkannya maka boleh memukulnya dengan tidak melukai sebagaimana hadits dari Jabir,  ketika nabi Saw haji wada’.[17]
Innallaha kana ‘aliyyan kabiraa  yaitu ancaman bagi laki-laki yang lalim terhadap perempuan tanpa sebab. Karena sesungguhnya Allah yang maha tinggi dan maha besar akan menjaga mereka dan membalas mereka yang mendzalimi terhadap perempuan-perempuan itu.[18]

D.  ‘Irab

E.  Balaghah
     Qs. AniNisa:35.[21]

F.  Tafsir Global
Ayat ini menjelaskan tentang  keutamaan laki-laki atas perempuan dan memberi petunjuk kepada mereka untuk yakin dalam urusan rizki yang mereka usahakan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang Allah perintahkan kepada mereka.[22]  

G.  Munasabah
Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumya yang menjelaskan tentang larangan berangan-angan serta iri menyangkut keistimewaan  masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang Allah anugrahkan itu antara lain karena masing-masimg mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, Sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya. 


Karena itu pula ayat 32 mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta warisan, dimana terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dan fungsi serta kewajiban masing-masing jenis kelamin dan latar belakang perbedaan  itu disinggung oleh ayat ini (Qs.An-Nisa:34) yang menyatakan bahwa laki-laki itu (suami) adalah Qawwamun (pemimpin dan penanggung jawab atas perempuan). Oleh karena itu Allah melebihkan mereka (suami) secara umum, sebab mereka telah memberi nafkah dan memberi mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak –anaknya. Dan perempuan harus taat kepeda Allah dan suaminya selama benar dan harus menjaga hak-hak pribadi dan hak-hak suami.[23]

H.  Tafsir Bayan
Laki-laki itu adalah pemimpin bagi perempuan. Yaitu sebagai  kepala, hakim, dan pendidik bagi mereka (perempuan) yang menyimpang. Pemimpin atas mereka (perempuan) dengan menjaga dan memelihara mereka. Dan laki-laki pun wajib memberikan nafkah kepada mereka (perempuan). Pertama disebabkan kerena laki-laki lebih utama daripada perempuan dalam bentuk jasad dan laki-laki  itu lebih kuat akalnya, kedua disebabkan karena laki-laki itu bertanggungjawab dalam hal memberi nafkah dan mahar.[24] 


I.  Fikhu Al-Hayat (al-ahkam)[25]
     Ayat ini menjelaskan tentang:
  1. Itsbat kepemimpinan laki-laki dalam rumahtangga, dan keutamaan laki-laki atas perempuan dalam rumahtangga.
  2. laki-laki berhak memberikan pendidikan kepada istrinya jika mereka melakukan penyimpangan, wajib bagi istri mentaati suami selama mereka tidak bermaksiat kepada Allah. Sebagaimana sabda rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:”Kalaulah aku diperintahkan untuk bersujud terhadap seseorang selain Allah, sungguh aku akan memerintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya.”.
  3. haram bagi suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istrinya kecuali istrinya mengizinkannya.
  4. wajib bagi suami untuk memberi nafkah kepada istrinya.
  5. Syariat dan petunjuk bagi mereka (suami istri) jika terjadi perselisihan.
J.  Perspektif  kaum Feminis tentang konsep kepemimpinan rumah tangg
Ayat ini menjadi salah satu isu yang banyak didiskusikan oleh para feminis muslim yang menggugat faham kepemimpinan suami dalam  rumah tangga.  Bagi mereka posisi suami sebagai pemimpin tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Menurut Asghar  Ali Engineer,surat An-Nisa ayat 34 ini tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial waktu ayat itu diturunkan. Menurut dia, struktur sosial pada zaman nabi Saw tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 


Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, Al-Quran pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali. Menurut Asghar keunggulan laki-laki disini bukanlah dilihat dari jenis kelamin. Akan tetapi dilihat dari keunggulan fungsional karena laki-laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Fungsi sosial yang diemban oleh laki-laki itu seimbang dengan fungsi sosial yang diemban perempuann yaitu melaksanakan tugas-tugas domestik  dalam rumah tangga. 


Menurut Asghar adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena menafkahkan hartanya itu disebabkan oleh dua hal yaitu kesadaran sosial pada waktu itu sangat rendah dan pengerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan dan karena laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka dalam mencari nafkah serta membelanjakannya untuk perempuan.[26]


Menurut Asghar ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa ini adalah bukan pernyataan normatif  tapi pernyataan kontekstual. Dia membangun pendapatnya dengan menggunakan argumen struktur kalimat ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa ini dalam tulisannya:”Al-Quran hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemberi nafkah dan pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi qawwam. Dapat dilihat bahwa qawwam merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya Al-Quran menjadi sebuah pernyataan normatif pastilah laki-laki harus menjadi Qawwam. Dan pastilah akan mengikat perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal itu. Asghar mengkritik para mufasir masa lalu yang mengartikan qawwamun sebagai penguasa atau pengawas kota dan menggunakan ayat ini untuk membuktikan keunggulan definitif  laki-laki atas perempuan. Dan dia menilai penafsiran seperti itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh feodalisme[27].


Sedangkan Amina wadud Muhsin menyetujui laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan dalam rumah tangga jika disertai dua keadilan yaitu jika laki-laki  punya atau sanggup membuktikan kelebihannya dan jika laki-laki mendukung perempuan dengan menggunakan harta bendanya.[28]


Selanjutnya makna qanitatun dalam ayat tersebut menurut Amina bukanlah sebagai kepatuhan. Apalagi kepatuhan terhadap suami. Akan tetapi makna qanitatun bagi Amina adalah perempuan-perempuan yang shaleh.[29]

K.  Tanggapan terhadap  perspektif kaum Feminis
Pemikiran kaum Feminis tentang konsep kepemimpinan laki-laki ini tentunya sangat bertentangan dengan pemikiran para mufasir muslim. Mereka kaum feminis hanyalah berusaha mengusung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang dengan melawan kodrat mereka sebagai perempuan. Padahal Allah sudah menetapkan kedudukan masing-masing. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama yang membedakan adalah ketakwaannya.


Allah menciptakan  manusia terdiri dari dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Tentu saja bukan untuk dipertentangkan atau saling merendahkan. Akan tetapi dibalik itu banyak hikmah yang terkandung di dalamnya.[30] Islam menilai bahwa perempuan adalah pasangan laki-laki. Artinya, tidak berbeda kelas, melainkan sederajat karena masing-masingnya pasangan bagi yang lainnya dan saling membutuhkan. Ini menunjukan bahwa laki-aki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Sebagaimana firman Allah dalam Qs.An-Nisa:1 dan Qs.Al-Baqarah:187.[31]


Namun dalam hal-hal yang menyangkut interaksi bersama antara laki-laki dan perempuan yang diperlukan adanya kepemimpinan maka baru Islam membedakan posisi diantara keduannya; laki-laki harus menjadi pemimpin bagi wanita. Sebagaimana firman Allah Qs.An-Nisa:34. Sudah menjadi kemestian dalam sebuah komunitas yang memerlukan kepemimpinan harus adanya pemimpin dan yang dipimpin. Dalam hal ini laki-laki yang menjadi pemimpin dan perempuan sebagai yang dipimpin. Dan yang dipimpin harus mematuhi terhadap pemimpinannya. 


Begitu pula dengan perempuan mereka harus taat kepada pemimipin mereka (suami). Tetapi ini tentunya tidak berarti kepemimpinn tersebut sewenang wenang, menindas dan bersifat pemaksaan. Akan tetapi kepemimpionan tersebut menekankan pentingnya keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sehingga tidak menyebabkan perempuan tertindas. Adanya perbedaan anara laki-laki dan perempuan itu bukan intuk saling menjatuhkan dan menunjukan akan ketidak konsistenan. Hanya saja hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat qudratullah dan alamiah yang menuntut perbedaan hukum antara keduanya (laki-laki dan perempuan). Jika menentang kodrat alam itu sendiri, maka berarti ia menentang  nilai-nilai kemanusiaan yang Allah ciptakan.[32] Wallahu ‘alam bishawab


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran
Abdullah bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Ibnu Katsir,Tafsir Quran al-adzim,Dar Fikr,jilid 1
M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah,volume 2
Musthafa Al-maraghi,Tafsir Al-Maraghi,Dar Fikr, jilid 2
Nashruddin Syarief,menangkal Virus Islam Liberal,Bandung:Persis Pers,2010,cet.I
Sayyid Quthub,Tafsir  fi Zhilalil Quran,Jakarta:Gema Insani,2001,jilid 2
Wahbah Az-Zuhaili, tafsir Al-Munir al-aqidah,wa mu’amalah, wal manhaj, Dar:Al-Fikr, jilid 3
Yunahar Ilyas,Feminisme dalam kajian tafsir Al-Quran klasik dan kontemporer Yogyakarta:PT.Pustaka Pelajar, 1997,cet.I



[1] Sayyid Quthub,Tafsir  fi Zhilalil Quran,Jakarta:Gema Insani,2001,jilid 2,hal.352
[2] Wahbah Az-Zuhaili, tafsir Al-Munir al-aqidah,wa mu’amalah, wal manhaj, Dar:Al-Fikr, jilid 3, hal.55
[3] M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah,volume 2, hal.511
[4] Ibid
[5] Musthafa Al-maraghi,Tafsir Al-Maraghi,Dar Fikr, jilid 2,hal.26
[6] Ibnu Katsir,Tafsir Quran al-adzim,Dar Fikr,jilid 1, hal.491
[7] Abdullah bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, kitab Al-Maghazi, nomor hadits 4425, hal.838
[8] Ibnu Katsir,hal.491
[9] Ibid
[10]Ibid
[11] Mustafa Al-Maraghi,hal.26
[12] Ibnu Katsir,hal.491
[13] Ibid
[14] Musthafa Al-Maraghi,hal.26
[15] Ibid
[16] Ibnu Katsir,hal.492
[17] Ibid
[18] Ibid, hal.492
[19] Wahbah Az-Zuhaili, tafsir Al-Munir al-aqidah,wa mu’amalah, wal manhaj, Dar:Al-Fikr, jilid 3, hal.55
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Musthafa Al-Maraghi,hal.27
[23] M.Quraish Shihab,hal.510
[24] Wahbah Az-Zuhaili, tafsir Al-Munir al-aqidah,wa mu’amalah, wal manhaj, Dar:Al-Fikr, jilid 3, hal. 58
[25] Ibid, hal.63-65
[26]Yunahar Ilyas,Feminisme dalam kajian tafsir Al-Quran klasik dan kontemporer ,Yogyakarta:PT.Pustaka Pelajar, 1997,cet.1,hal.82
[27] Ibid,hal.83
[28] Ibid,hal.84
[29] Ibid,hal.86
[30] Lihat QS.Al-Hujurat:13
[31] Nashruddin Syarief,menangkal Virus Islam Liberal,Bandung:Persis Pers,2010,cet.I,hal.134
[32] Nashruddin Syarief,menangkal Virus Islam Liberal,Bandung:Persis Pers,2010,cet.I,hal.134-139

1 comments:

terimakasih mas artikelnya, buat cth panduan dlam keluarga d rmh.

Post a Comment